Penulis: Syaqilla Zahwa | Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Hari Guru Nasional yang diperingati setiap tanggal 25 November merupakan momentum reflektif yang sarat makna untuk meninjau kembali peran fundamental pendidik dalam membangun peradaban bangsa. Lebih dari sekadar hari libur nasional, peringatan ini adalah bentuk pengakuan atas dedikasi dan pengorbanan para pahlawan tanpa tanda jasa yang berperan membentuk karakter, mengasah nalar kritis, serta menanamkan cita-cita luhur kepada generasi penerus Indonesia. Profesi guru merupakan tiang penyangga utama bangsa; apabila tiang tersebut rapuh, mustahil sebuah negara dapat berdiri kokoh. Oleh sebab itu, diskursus mengenai esensi pengabdian guru harus senantiasa relevan dan mendalam, menjangkau kearifan lokal yang membentuk identitas nasional.
Di Nusantara, setiap suku memiliki perspektif khas mengenai konsep guru dan pembelajaran. Salah satu yang paling filosofis berasal dari Ranah Minangkabau, Sumatera Barat. Dalam kebudayaan Minang, definisi guru dan sumber ilmu pengetahuan melampaui batas formal ruang kelas dan kurikulum yang kaku. Pembelajaran dipahami sebagai proses seumur hidup. Filosofi yang menjadi landasan pandangan ini adalah Alam Takambang Jadi Guru (Alam Terkembang Menjadi Guru), sebuah prinsip yang menempatkan alam semesta—beserta pola, peristiwa, dan hukum-hukum di dalamnya—sebagai sumber pelajaran yang tak pernah habis digali.
Dalam kerangka pemikiran tersebut, setiap individu yang mampu menafsirkan ajaran alam—baik guru sekolah, ulama, maupun Niniak Mamak (pemimpin adat)—dapat disebut sebagai pendidik. Oleh karena itu, dalam konteks Hari Guru Nasional, menjadi relevan untuk menelaah lebih jauh bagaimana esensi pengabdian pendidik di Minangkabau dijiwai oleh kearifan lokal yang bersifat abadi ini.
Filosofi Alam Takambang Jadi Guru mengajarkan bahwa proses belajar tidak terbatas pada ruang kelas, melainkan berlangsung melalui setiap pola, peristiwa, dan makhluk hidup di alam semesta. Guru di Minangkabau—baik formal maupun informal—berperan sebagai penerjemah ajaran alam tersebut. Mereka membimbing anak kamanakan (generasi muda) untuk memahami bahwa ketinggian gunung melambangkan cita-cita luhur, derasnya arus sungai mengajarkan ketekunan, dan dalamnya laut merepresentasikan kebijaksanaan. Ajaran-ajaran ini diabadikan dalam pepatah-petitih adat yang berfungsi sebagai hukum tidak tertulis, seperti ungkapan “Hati gajah samo dilapah, hati kuman samo dicecah” yang menekankan nilai kebersamaan dan solidaritas.
Seluruh nilai yang dipetik dari alam tersebut kemudian diselaraskan dengan prinsip moral utama Minangkabau, yakni Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK). Dalam konteks ini, guru menjadi jembatan yang menghubungkan kearifan alam dengan nilai-nilai agama, sekaligus berperan strategis dalam menjaga keberlangsungan Lembaga Kerapatan Adat Nagari (KAN) sebagai benteng kebudayaan.
Dalam struktur sosial Minangkabau, peran pendidik formal memiliki signifikansi khusus karena berkaitan erat dengan tradisi merantau. Merantau bukan sekadar perpindahan geografis, melainkan sebuah “kurikulum kehidupan” yang menuntut kemandirian, kecakapan, dan ketangguhan mental. Guru di kampung halaman bertanggung jawab membekali peserta didik dengan ilmu pengetahuan dan karakter yang kuat agar mampu bertahan serta berhasil di tanah rantau.
Melalui pendidikan, guru mempersiapkan anak kamanakan menjadi Urang Cadiak Pandai—kaum cendekia yang berintegritas dan adaptif, sehingga mampu membawa identitas Minangkabau ke mana pun mereka pergi. Kegagalan dalam menjalani proses ini tidak hanya bermakna kegagalan personal, tetapi juga konsekuensi sosial berupa rasa malu dalam perspektif adat. Di sinilah letak esensi pengabdian guru: memastikan peserta didik tidak hanya lulus secara akademik, tetapi juga matang dalam menghadapi ujian kehidupan.
Pengabdian guru Minangkabau juga tercermin dalam kiprah tokoh-tokoh pendidikan dan pergerakan nasional. Hajjah Rangkayo Rasuna Said (1910–1965), misalnya, dikenal sebagai Pahlawan Nasional yang berperan penting dalam bidang pendidikan, politik, dan jurnalistik. Dijuluki “Singa Betina”, Rasuna Said menggunakan pendidikan dan media sebagai alat perjuangan melawan kolonialisme, sekaligus memperjuangkan emansipasi perempuan. Keyakinannya bahwa pendidikan adalah kunci kemandirian perempuan menjadikannya teladan pendidik sejati.
Tokoh lainnya adalah Rohana Kudus (1884–1972), wartawati perempuan pertama Indonesia dan pendiri surat kabar Soenting Melajoe. Melalui pendidikan dan jurnalistik, Rohana Kudus memperjuangkan kesetaraan gender dan pemberdayaan ekonomi perempuan dengan mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS). Kontribusinya menegaskan bahwa pendidikan adalah instrumen utama dalam mengangkat harkat dan martabat manusia.
Di era digital saat ini, tantangan guru semakin kompleks. Guru tidak hanya berhadapan dengan buku teks, tetapi juga dengan arus informasi tanpa batas di dunia digital. Oleh karena itu, esensi pengabdian guru Minangkabau perlu diaktualisasikan kembali: menjadi navigator moral dan intelektual bagi generasi muda yang tengah “merantau” di ruang digital. Dengan berpegang pada kompas nilai ABS-SBK dan kearifan lokal, guru dapat membentuk generasi yang cerdas secara intelektual sekaligus kokoh secara moral.
Akhirnya, peringatan Hari Guru Nasional setiap 25 November merupakan panggilan reflektif bagi seluruh masyarakat Minangkabau dan bangsa Indonesia. Menghargai guru formal harus berjalan seiring dengan kesadaran menjadikan lingkungan sebagai ruang belajar dan kearifan lokal sebagai mata pelajaran utama. Sebab, hakikat guru terbaik terwujud ketika ilmu dari Alam Takambang Jadi Guru mampu diimplementasikan demi kemajuan peradaban bangsa.









